Selasa, 03 Juli 2012

sejarah administrasi pendidikan


SEJARAH SINGKAT
Administrasi pendidikan dalam sejarahnya cukup panjang dimulai dengan diberikannya Educational Administration Course yang hanya diberikan pada tingkat Sarjana pada PTPG Departemen Ilmu Pendidikan di tahun 954. Saat PTPG bergabung dengan UNPAD dan menjadi FKIP/A, Educational Administration Course mendapat kemajuan pesat berkat kegigihan Prof. Suganda dan Oteng Sutisna, M.Sc yang dibantu Prof.Dr.Murray Thomas sebagai tenaga ahli dari Sunny Team.
Sebagai sebuah jurusan, administrasi pendidikan dimulai di tahun 1964 dengan nama jurusan administrasi dan super visi yang disingkat ADSUP dalam lingkungan Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung. Kelahiran ADSUP dipicu atas munculnya tuntutan terhadap kebutuhan akan tenaga ahli di bidang manjemen dan administrasi pendidikan serta tuntutan kebutuhan guru bagi SPG/SGO. Sejak saat itu diadakan penjurusan yang menyeluruh (dari tingkat satu sampai lima) dan jurusan ADSUP IKIP Bandung ini dibuka secara resmi melalui Surat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Republik Indonesia, No.128/1964 tertanggal 19 Oktober 1964. Beberapa tokoh lain yang ikut membina sub disiplin ilmu Administrasi dan Supervisi ini adalah  Oteng Sutisna, M.Sc; R. Iyeng Wiraputra, M.Sc; Drs. Udi Turmudi Saputra dan Drs.M.I Sulaeman.
Titik balik penyadaran akan eksistensi ilmu administrasi pendidikan sebagai body of knowledge, dimulai saat rapat dosen di bulan Juni 98 yang menyepakati perubahan nama Administrasi  Supervisi (ADSUP) menjadi jurusan Administrasi Pendidikan. Nama Jurusan tersebut digunakan sampai saat ini di tengah-tengah tuntutan sebagian orang yang menginginkan perubahan nama menjadi “Manajemen Pendidikan”.

Kurikulum pendidikan anak usia dini (PAUD)

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal, dan Informal (PAUDNI) Kemendikbud terus mematangkan kurikulum pembelajaran di jenjang PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Di antara penekanannya adalah, penghapusan aturan materi pengajaran dan ujian baca, tulis, dan hitung (calistung).

Perkembangan pengembangan kurikulum PAUD ini disampaikan oleh Dirjen PAUDNI Kemendikbud Lydia Freyani Hawadi. Dia mengatakan, penerapan ujian calistung bisa menghambat peningkatan angka partisipasi belajar anak-anak di satuan pendidikan di jenjang PAUD. Diantaranya yang paling mencolok di tingkat taman kanak-kanak (TK).

Lydia mengakui, selama ini banyak siswa TK yang sudah cemas karena harus menjalani tes atau ujian calistung ketika akan masuk SD. Selain itu, di dalam pendidikan di tingkat TK sendiri, juga sudah mulai dikuatkan materi calistung. "Dalam jenjang TK tidak tepat jika sudah difokuskan pada urusan calistung," katanya.

Menurut Lydia, memang ada aturan yang melandasi penerapan ujian calistung bagi lulusan TK untuk menuju SD. Yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 17 Tahun 2010. Tapi, kata dia, aturan ini perlu sosialisasi yang matang dan luas. Lydia masih menemukan praktek-praktek ujian calistung untuk SD-SD swasta dan beberapa SD negeri.

Dia menuturkan, dalam praktenya ada anak-anak TK yang dengan sendirinya tertarik pada urusan calistung. Pada kasus ini, Lydia mengatakan bisa dilayani dengan penerapan materi calistung dengan media bermain dan bernyanyi. 

"Intinya jangan menggunakan operasi perhitungan. Calistung itu haram hukumnya diberikan guru dalam kurikulum," katanya. Setiap satuan pendidikan PAUD juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan kembali kurikulumnya.

Dengan adanya perbaikan kurikulum ini, Lydia mengatakan bisa meningkatkan layanan PAUD di Indonesia. Dia mengatakan, saat ini layanan PAUD masing meng-cover sekitar 34 juta anak. Sedangkan ada sekitar 21 juta anak usia PAUD belum tersentuh. 

Sumber : http://pgtk--darunnajah.blogspot.com/2012/05/pembenahan-kurikulum-paud-calistung-di.html#ixzz1zgbLOqjb

sejarah pendidikan di dunia barat

Pendidikan berkembang melalui bermacam proses yang terjadi pada masyarakat sesuai dengan sejarah berbagai negara di dunia barat. Pada awalnya, lembaga yang memiliki tanggung jawab sebagai penyalur sosialisasi adalah gereja dan keluarga. Lalu, lembaga pendidikan menggantikan lembaga keluarga dan gereja sebagai penyalur sosialisasi kepada anak-anak. Pendidikan di beberapa negara Eropa pada jaman pertengahan ditentukan oleh otoritas mutlak melalui lisensi dari paus atau kaisar untuk mengajarkan misteri dari hukum pengobatan dan teologi di universitas beraliran kristen (Vaizey, 1974:59). Pendidikan ber hubungan dengan kepercayaan bahwa seseorang akan mencapai kebenaran dengan membaca kitab injil. Jadi, pendidikan terkesan dipaksakan dan tidak boleh dijalankan tanpa petunjuk dari gereja dan sebagai perpanjangan tangan untuk mengontrol masyarakat.
Sebelum pertengahan abad 19, lembaga pendidikan dapat dimasuki berdasarkan pada kelas sosial. Sekolah umum merupakan sekolah privat dengan biaya yang mahal (Miflen dan Mifflen, 1986: 12). Anak-anak dari keluarga menengah ke bawah sulit untuk sekolah, karena masalah ketidakmampuan memenuhi biaya pendidikan.
Pendidikan dapat dikembangkan berdasarkan adanya tuntutan penyediaan tenaga kerja untuk berbagai kebutuhan negara. Pemerintah Inggris membuat aturan tentang pendidikan untuk anak-anak dari keluarga miskin pada tahun 1833, yaitu ketika factory act (peraturan kepabrikan) seolah-olah memberikan larangan mengenai tenaga kerja anak (buruh anak). Peraturan tersebut sulit dijalankan, karena tuntutan kebutuhan tenaga kerja murah. Vaizey (1974:18) menyatakan bahwa pendidikan akan dianggap sukses apabila rakyat berhasil dilatih untuk menjalankan sebuah pabrik, membangun tentara, atau mengembangkan suatu sistem pertanian.
Pendidikan yang diajarkan dengan cara berbeda antara kaum borjuis dan kaum pekerja. Anak-anak kaum borjuis dididik untuk menjadi pemimpin dan juga diberikan pendidikan berdasarkan buku, sedangkan anak-anak kaum pekerja dilatih untuik bekerja di dalam industri produksi (Vaizey, 1974:36). Pendidikan dapat dimasuki berdasarkan pengkotakan yang diatur sesuai dengan penempatan kelas sosial. Ketidak adilan pendidikan semakin berkembang seiring kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi di Jerman dan di Amerika Serikat membuat Inggris menempati posisi yang imperior. Negara Jerman dan Amerika Serikat mempunyai sistem pendidikan yang lebih maju dibandingkan Inggris (Mifflen dan Mifflen, 1986:13). Inggris mencoba ikut bersaing dengan mengembangkan jurusan teknik dan ketrampilan disebabkan ingin menyamai kedudukan perdagangan Negara Jerman dan Amerika. Pendidikan di ketiga negera tersebut diperluas dengan cepat untuk memberikan keterampilan praktis yang akan digunakan untuk para pekerja di berbagai bidang pekerjaan.
Pada perkembangannya, Siswa pada lembaga-lembaga pendidikan menjadi semakin berkurang. Blyth (1972) melaporkan sampai pertengahan tahun duapuluhan, hanya 12% dari mereka yang menikmati sekolah-sekolah dasar dan empat dari seribu orang siswa yang melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya (dikutif oleh Mifflen dan Mifflen, 1986:14). Kenyataan tersebut terjadi tidak lepas karena anak-anak tidak mampu dibentuk menjadi buruh. Pendidikan bagi anak-anak kaum buruh dibentuk dengan status dan cara hidup tingkat buruh. Pendidikan dikembangkan demi mendapatkan tenaga kerja murah.
Pendidikan tidak adil bagi anak-anak miskin tidak hanya terjadi di Inggris, Amerika dan Jerman. Ketidakadilan pada lembaga pendidikan juga terjadi di Kanada, terjadi diskriminasi terhadap pribumi, anak-anak kaum buruh, orang kulit hitam, dan para imigran. Katz (1973, dikutip oleh Mifflen dan Mifflen, 1986:56) mencatat bahwa diperkenalkannya sekolah yang bebas dan wajib di Kanada bukan suatu reformasi yang ditujukan untuk keuntungan pekerja golongan miskin. Kaum buruh juga terkendala oleh biaya pendidikan yang tidak murah. Kaum buruh mengalami kesulitan untuk memasuki lembaga pendidikan, karena tidak sanggup untuk membayar biaya sekolah.
Jadi, pendidikan di beberapa negara barat merupakan wujud dari permintaan akan tenaga kerja yang murah. Kebutuhan yang mendesak dan persaingan kemajuan teknologi semakin membuat orang-orang tidak mampu atau kaum buruh semakin tersingkir dari lembaga pendidikan. Anak-anak kurang mampu dibentuk menjadi tenaga terampil, mereka kesulitan menikmati pendidikan dan tidak bisa keluar dari pengkotakan, kaum buruh menempati kelas bawah dan kaum borjuis menempati tingkat atas sebagai golongan yang mampu memasuki lembaga pendidikan.
Ketidakaadilan akan pendidikan juga dibawa oleh beberapa negara Eropa ke negara jajahannya. Pada sektor ekonomi modern dan kaya, yang terpusat dikota-kota besar negera sedang berkembang. Pendidikan ditentukan oleh suatu struktur yang mempunyai persamaan besar dengan model pendidikan dari Negara penjajah (Vaizey, 1974: 62), contohnya Negara India dan Pakistan ditemukan sekolah dasar siang yang besar seperti model sekolah di Inggris untuk anak-anak dari pegawai negeri dan masyarakat pengusaha, dan sekolah berasrama khusus untuk anak-anak kaum bangsawan. Belanda juga mengembangkan model pendidikan berdasarkan kepentingan sebagai negara penjajah di Indonesia.
Sejarah Pendidikan di Indonesia
Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan.
Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah kas negara penguasa.
Kehidupan petani yang selalu ditekan bukan masalah yang baru. Petani menduduki posisi sosial yang selalu dimanfaatkan, lahan pertanian merupakan tempat untuk menggantungkan pendapatan dan hidup petani, terutama petani gurem. Petani menjadi sapi perahan yang harus membayar pungutan resmi untuk membantu jalannya pemerintahan dan penyuplai kebutuhan pejabat daerah (Mubyarto, 1987:24). Praktek tanam paksa sekitar tahun 1830-1870 (di Yogyakarta, Solo, dan Priangan sampai 1918) merupakan kesengsaraan yang tiada taranya dan memiliki kesan yang paling hitam bagi petani dari masa penjajahan Belanda.
Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.
Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah mungkin untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang dicanagkan sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan rakyat.
Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia, tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.
Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat. Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia.
Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja demi pengamankan hasil panen.
Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan desa.
Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.
Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.
Kebangkitan Asia menjadi slogan omong kosong pada kenyataannya. Mubyarto (1987:36) menjelaskan pertanian Indonesia diusahakan dapat mendukung usaha peperangan. Bibit baru dari Taiwan memang berumur lebih pendek dengan hasil per hektar lebih tinggi dipaksakan untuk ditanam dengan sistem larikan (dalam garis lurus) dan dengan menggunakan pupuk hijau dan kompos. Petani menjadi membenci sistem baru tersebut. jaman Jepang sebagai jaman penyiksaan yang kejam. Jadi, petani dibuat sebagai sumber pendapatan yang terus dipaksa untuk manambah hasil panen. Penduduk sebagai alat komoditas yang terus diperas.
Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.
Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu.
Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.


sumber :  indraahmad62blogspot.com

Selasa, 29 Mei 2012

Teknologi Komunikasi dan Informasi dalam Pendidikan Jarak Jauh

Teknologi Komunikasi dan Informasi dalam Pendidikan Jarak Jauh
 Sistem pendidikan jarak jauh merupakan suatu alternatif pemerataan kesempatan dalam bidang pendidikan. Sistem ini dapat mengatasi beberapa masalah yang ditimbulkan akibat keterbatasan tenaga pengajar yang berkualitas. Pada sistem pendidikan pelatihan ... pendidikan. Pemisah dapat pula jarak non-fisik yaitu berupa keadaan yang memaksa seseorang yang tempat tinggalnya dekat dari lokasi institusi pendidikan namun tidak dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di institusi tersebut. Keterpisahan kegiatan p ... formal atau non-formal, dengan menggunakan fasilitas Internet.Pendekatan sistem pengajaran yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengajaran secara langsung (real time) ataupun dengan cara

Senin, 28 Mei 2012

KARAKTERISTIK DAN KRITERIA MEDIA PEMBELAJARAN

KRAKTERISTIK DAN KRITERIA MEDIA PEMBELAJARAN

Upaya pengklasifikasian media dapat mengungkapkan karakteristik atau ciri-ciri suatu media berbeda menurut tujuan atau maksudnya pengelompokannya. Dari contoh pengelompokan yang diadakan oleh para ahli (Schramm), kita dapat melihat media karakteristik ekonomisnya, lingkup sasarannya yang dapat diliput, dan kemudahan kontrol pemakai. Karakteristik media juga dapat dilihat menurut kemampuan membangkitkan rangsangan indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan maupun penciuman atau kesesuaiannya dengan tingkat hierarki belajar seperti yang digarap oleh Gagne, dan sebagainya.
Karakteristik media inisebagaimana dikemukakan oleh Kemp (1975) merupakan dasar pemilihan media sesuai dengan situasi belajar tertentu. Dia mengatakan “The question of what media attributesare necessary for a given learnign for situation becomes the basis for media selection”. Jadi klasifikasi media, karakteristik media, dan pemilihan media merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dalam penentuan strategi pembelajaran.
Untuk tujuan-tujuan praktis dibawah ini akan dibahas karakteristik beberapa jenis media yang lazim dipakai dalam kegiatan belajar mengajar khususnya di Indonesia.

1. Media Grafis
Media grafis termasuk media visual. Sebagaimana media yang lain media grafis berfungsi untuk menyalurkan pesan. Saluran yang dipakai menyangkut indera penglihatan. Pesan yang akan disampaikan dituangkan kedalam simbol-simbol komunikasi visual. Selain itu media grafis juga berfungsi pula untuk menarik perhatian, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan atau menghiasi fakta yang mungkin akan cepat dilupaka
n atau diabaikan bila tidak digrafiskan.
Selain sederhana dan mudah pem

Teknologi Pendidikan Jarak Jauh Harus Dieksploitasi

Teknologi Pendidikan Jarak Jauh Harus Dieksploitasi

Ditulis pada 12 October 11
Negara-negara berbagai kawasan bisa saling berbagi pengalaman, terutama dalam perencanaan, pengembangan dan pengelolaan  dalam penyelenggaraan  sistem  pendidikan jarak jauh  dan terbuka atau yang dikenal dengan Open and Distance Learning (ODL).
ODL sendiri telah diterapkandi Indonesia, terutama oleh Universitas Terbuka (UT).  “Di UT, ada dua jejaring ODL yaitu jejaring  untuk pelayanan warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri  dan  networking. UT sebagai pemain ODL, sehingga kami harus  aktif  dalam organisasi ODL di  manca negara,”  ungkap  Rektor Universitas Terbuka (UT), Tian Belawati, kepada BISKOM  di kampus UT Pondok Cabe,  Tangerang  (11/10),  saat menyampaikan hasil-hasil dari  International Council for Open and Distance Education (ICDE) World Conference ke-24.
Konferensi tingkat dunia  yang diikuti 700 delegasi dari 50 negara ini merupakan  agenda dua tahunan dari ICDE. Acara  yang digelar di  Nusa Dua, Bali, 2 – 5 Oktober lalu, bertemakan “Expanding Horizons – New Approaches to ODL” (Memperluas Cakrawala – Pendekatan Baru dalam ODL). Konferensi ini merupakan forum berbagi pengalaman, gagasan, dan strategi esensial dan praktis di kalangan komunitas sesama institusi dan praktisi  ODL .
Tian yang juga terpilih menjadi anggota eksekutif  komisi ICDE berharap agar organisasi internasional ODL memperhatikan  sistem ODL di negara-negara  berkembang seperti Indonesia dan Asia lainnya yang  infrastruktur backbone serat optic-nya masih  belum merata.
“Untuk akses broadband dan internet, Amerika Serikat dan Eropa memang  terdepan, sementara Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti Korea Selatan, Jepang dan  China cukup sukses dengan pertumbuhan akses pita lebar ini,” sambungnya.
Tian mencontohkan, negara China itu  basis UT-nya adalah The China Central Radio dan TV University  yang sekarang sudah berganti nama menjadi The Open University of China.  Nmaun, meski infrastruktur TI-nya  sudah memadai, penetrasi broadband-nya masih sedikit dari total jumlah penduduknya.
“China memiliki kesamaan dengan Indonesia, dimana masyarakatnya belum semuanya siap ber-online ria walaupun infrastrukturnya sudah memadai.  Apalagi pengguna internet di Indonesia masih lebih banyak menggunakan ponsel dari pada perangkat lain,” tambahnya.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional  Muhammad Nuh mengatakan,  teknologi yang diterapkan dalam sistem  ODL harus dieksploitasi agar  memberikan nilai tambah  maksimal. Sebab, nilai standar pada teknologi ODL adalah koneksi dan transaksi.
“Perkembangan teknologi saat ini telah merevolusi, membantu kita dalam melakukan interaksi. Interaksi  terpusat  melalui portal dalam  konsep web 1.0 telah mengalami perubahan mendasar  menjadi  interaksi jejaring dalam konsep web 2.0 yang mengedepankan ruang terbuka bagi siapapun untuk berekspresi,” kata Nuh.
Menurutnya, konsep interaksi  jejaring atau kolaborasi merupakan nilai lanjutan dari tenknologi ODL, setelah koneksi dan transaksi. Implementasinya adalah sebuah sistem terbuka agar pembelajar memasukkan konten melalui tahapan evaluasi.
“Nilai kolaborasi ini akan menghasilkan konten yang beragam sehingga terjadilah konsep  pengajaran ideal, dimana pembelajar memperoleh  pelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya,” tambahnya.
Sehubungan dengan itu, Kementerian Diknas tengah mengembangkan Rumah Belajar  yaitu suatu sIstem berbagi  materi e-Pembelajaran yang mendukung ODL. Sistem tersebut dibuat dengan konsep partisipatif dan kolaboratif dengan menggunakan platform konten bersama (sharable content).
Nuh berharap,   rumah belajar  ini  akan menjadi program e-Pendidikan nasional  (National e-Education Gateway) agar terjadi hubungan antara pusat-pusat ODL di negara- negara lain dengan Indonesia dalam suatu jejaring ODL global.

sumber : mitra komunitas telematika

Senin, 23 April 2012

Pendidikan Bahasa Indonesia



Bahasa Indonesia

1.PENGERTIAN BAHASA INDONESIA BAKU
Bahasa baku adalah satu jenis bahasa yang menggambarkan keseragaman dalam bentuk dan fungsi bahasa.Dari segi fungsi terdapat tiga unsur bahasa baku, yaitu :
·         Unsur penyatu yaitu digunakan oleh orang-orang dari pada berbagai daerah loghat
·         Unsur pemisah yaitu pemisah pembentut baku itu dari pada loghat-loghat dalam bahasa itu
·         Unsur prestos yaitu digunakan oleh segolongan orang dalam suasana tertentu, biasanya dalam urusan resmi
Ciri-ciri bahasa indonesia baku dan tidak baku telah dibuat oleh para pakar bahasa seperti : Harimurti, Kridalaksana, Anton M. Moeliono, dan Suwito.
Ciri-ciri bahasa indonesia baku
1.      Pelafalan sebagai bagian fonologi bahasa indonesia baku ,yaitu pelafalan yang relatif bebas atau sedikit di warnai bahasa daerah
2.      Bentuk kata yang berawalan me- dan ber- dan lain-lain sebagai bagian morfologi bahasa indonesia baku di tulis dan di ucapkan secara jelas dan tepat
3.      Konjungsi sebagai bahagian  morfologi bahasa indonesia baku di tulis secara jelas dan tepat di dalam kalimat
4.      Partikel kah- ,lah dan pun harus jelas dan tepat dalam kalimat
5.      Preposisi atau kata di tulis secara jelas dan tetap dalam kalimat
6.      Bentuk kata ulang  atau reduplikasi di tulis secara jelas sesuai dengan fungsi dan tempatnya sebuah kalimat
7.      Terdapat kata ganti atau polaritas tutur sapa yang tepat dan jelas dalam kalimat



2.PENGERTIAN BAHASA INDONESIA TIDAK BAKU
Bahasa indonesia tidak baku adalah ragam bahasa indonesia yang di gunakan dalam situasi tidak formal atau tidak resmi yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa indonesia yang berlaku.
Ciri-ciri bahasa tidak baku
1.      Menggunakan awalan Me- atau Ber- pada kata kerja yang menjadi predikat pada sebuah kalimat
2.      Menggunakan kalimat penghubung “bahwa” atau “karena” dalam sebuah kalimat majemuk
3.      Pemakaian pola frase untuk predikat : aspek + pelaku + kata kerja secara konsisten
4.      Pemakaian konstruksi sintensis
5.      Menghindari pemakaian  unsur gramatikal bahasa daerah
3.PENGERTIAN KESALAHAN BERBAHASA
Kesalahan berbahasa yaitu pemakaian bentuk-bentuk tutur kata yang tidak di inginkan. Kesalahan  berbahasa indonesia adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang meliputi kata , kalimat, paragraf yang menyimpang dari sistem kaidah bahasa indonesia baku serta ejaan dan tanda baca yang di tentukan oleh buku EYD.
           A .EYD terdiri dari 5 huruf yaitu : a, i, u, e, o
Sistem EYD terdiri 3 komponen
1.      Penulisan huruf
2.      Kata
3.      Dan Tanda baca